Jumat, 14 Oktober 2011
Dokter Juga Manusia
Tulisan ini terinspirasi dari kumpulan artikel dari Buku yg ditulis dr.Yose
Waluyo yang berjudul "Doctor; The Ordinary Me", tulisan ini sebenarnya
buah pemikiran yang lahir setelah melihat fenomena ketidakpuasan
masyarakat terhadap dokter dan ketidakpedulian pemerintah terhadap
profesi ini...Pemikiran yg kemungkinan bergejolak di benak seluruh dokter
akan tetapi belum dapat diungkapkan hingga akhirnya dr.Yose membuat
artikel tersebut...
DOKTER JUGA MANUSIA
Sudah menjadi suratan seorang dokter untuk dianggap seorang dewa.
Dokter adalah makhluk Tuhan yang tercipta untuk menolong sesama,
dokter adalah malaikat yang tidak boleh melakukan kesalahan, dokter
adalah penyembuh, bahkan dokter dianggap sebagai penyebab hidup atau
matinya seseorang. Tapi mungkin tidak banyak yang sadar bahwa dokter
juga manusia yang bisa lelah, dokter adalah juga seperti manusia
umumnya yang bisa melakukan kesalahan, dokter hanyalah manusia yang
disumpah untuk melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya dan bukan
bersumpah untuk menjadi sempurna.
Di sebuah tempat terpencil di kepulauan yang berpenduduk lumayan
padat, sebut saja dokter Agus memberi pelayanan di Puskesmas dari jam 8
pagi sampai 4 sore, malamnya dia membuka praktek di rumah sampai jam
10 malam. Suatu ketika saat dr. Agus bersiap tidur, seorang pemuda
membangunkannya dan mengatakan bahwa ayahnya sedang sakit keras.
Walau masih dilanda lelah, sang dokter pun pergi ke rumah tersebut dan
kembali setelah lewat tengah malam. Belum sempat matanya terpejam,
jam 3 subuh seseorang mengetuk pintu dan mengaku kalau ibunya sedang
sakit. Sesampainya di rumah yang dituju, sang pasien tampak sedang
duduk dan menikmati kopi. Ternyata ibu itu hanya tidak bisa tidur. Tidak
sebanding dengan kelelahan yang ia alami, kontan emosi dr. Agus naik,
karena itu bukanlah sesuatu yang gawat untuk segera di tangani.
Malangnya, bukan pengertian yang didapatkan oleh Dokter tersebut,
namun cacian dari keluarga pasien.”Ini kewajiban Anda” kata orang seisi
rumah itu.
Di sebuah Rumah Sakit Negeri tampak seorang dokter sedang kebanjiran
pasien yang datang tidak ada hentinya malam itu. Seorang pasien datang
dengan keadaan sangat parah sehingga sang Dokter merasa perlu
melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang tentu harus menekan dada
sang pasien, namun sayang pasien tersebut tidak tertolong dan dia
meninggal dunia. Tahukah Anda apa yang dihadapi sang dokter
selanjutnya? Dia tidak bisa pulang setelah shift usai karena ditunggu
keluarga korban tersebut. Mereka merasa meninggalnya korban adalah
akibat tindakan yang diberikan dokter tersebut.
Di sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta, seorang dokter harus membayar
sebesar 2 milyar rupiah karena dianggap salah mendiagnosa.
Mungkin ada baiknya masyarakat tahu kalau ada dokter yang terserang
penyakit TBC hanya karena telah menangani pasien TBC, atau dokter yang
terkena malaria cerebral selelah ditugaskan di daerah endemik malaria.
Seorang dokter muda meninggal dunia karena pecah pembuluh darahnya
setelah jaga di Rumah Sakit tanpa tidur yang merupakan hak dasar bahkan
untuk seorang bayi. Tahukah masyarakat bahwa dokter itu juga bisa lelah,
bisa salah, bisa lalai, dan memang manusia seperti hakim yang tidak selalu
benar membuat keputusan, seperti polisi yang bisa salah tangkap, seperti
pengusaha yang bisa salah perhitungan, seperti guru yang tidak selalu
benar, atau bahkan seorang peneliti yang menjadi benar setelah ribuan
kesalahan, toh kebanyakan dari merekapun berurusan dengan manusia ?
Lihat bagaimana pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling beresiko dan
dihantui orang hukum. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tanpa asuransi
proteksi untuk semua resikonya namun obyek hukum yang empuk untuk
dicari kesalahan. Tidakkah orang tahu kalau ilmu kedokteran adalah seni
sehingga tidak seperti matematika yang hasilnya pasti. Ilmu kedokteran
bukan ilmu fisika yang rumusnya tetap dan konstan. Ilmu kedokteran
bukan seperti kimia yang hasil akhirnya pasti. Ini adalah seni yang bisa
memandang obyek dari cara-cara yang berbeda, penanganan yang berbeda
dengan tujuan yang sama : memberi yang terbaik untuk mengurangi
kesakitan pasien sesuai dengan keilmuannya.
Jadi, masih ada yang mau menjadi dokter ? Untuk menjadi dokter, rata-rata
mahasiswa menghabiskan waktu 6 tahun lamanya, jika mereka lanjutkan
dengan spesialis yang rata-rata menghabiskan 4-5 tahun, total waktu
pendidikannya adalah 11 tahun, setelah itu dokter harus membuat Surat
Izin Praktek yang sebelumnya harus lulus ujian kompetensi dan seandainya
tidak lulus, mereka harus menunggu 3-6 bulan kemudian untuk ujian
kembali. Setelah lulus, surat izin dikantongi kira-kira 6 bulan kemudian.
Belum cukup menarik nafas, masih ditambah PTT selama 2 tahun. Bisa kita
bayangkan betapa berbelit dan lamanya seorang dokter dari lulus sampai
kemudian bisa praktek dan memperoleh penghasilan. Dari segi pendanaan
pendidikan sekolah kedokteran terkenal dengan pendanaan yang paling
besar, bahkan kini angka 200 juta rupiah untuk uang masuk adalah harga
bandrol yang dianggap normal, belum dengan SPP 3-12 juta rupiah
persemester ditambah 100-250 ribu per Satuan Kredit Semester (SKS) juga
merupakan angka fantastis untuk orang kebanyakan. Kita tidak bisa naif
menuntut dokter untuk bekerja sepenuh hati sedangkan hak mereka tidak
terpenuhi.
Beberapa kasus yang menyeret dokter ke meja hijau dan akhirnya harus
menjadi terpidana karena salah mendiagnosa sudah sering kita dengar,
akan tetapi seberapa sering kita mendengar seorang hakim yang kemudian
diperkarakan karena menjebloskan seseorang ke penjara dan kemudian
hari diketahui bahwa ternyata orang tersebut tidak bersalah. Sekali lagi
hukum dibuat dengan standar ganda dan memojokkan profesi dokter.
Selain sebagai makhluk sosial, dokter juga makhluk individu yang memiliki
kepentingan pribadi, yah.. Dokter juga manusia. Belum lagi posisi dokter
yang selalu dipojokkan oleh masyarakat ketika merasa tidak mendapat
pelayanan yang optimal di rumah sakit, padahal sistemlah yang
menyebabkan keadaan tersebut terjadi.
Tidak semua dokter berasal dari keluarga yang mapan, tidak semua dokter
memiliki klinik dan tidak semua dokter dapat melanjutkan ke sekolah
spesialisasi, tapi semua orang tua dokter mengharapkan anaknya kerja
dengan tenang dan gaji yang layak.
Mulai sekarang tampaknya pemerintah benar-benar harus bijak menyikapi
riak yang terjadi di masyarakat, riak yang sebenarnya disadari betul oleh
pemerintah tapi begitu lambat direspon. Jangankan dengan tulisan bahkan
sebuah demo besar sekalipun. Kita semua sadar bahwa setiap dari kita
memegang peranan vital masing-masing dalam memberi kontribusi bagi
bangsa dan negara. Mungkin setelah ini kita tidak patut lagi bertanya
kenapa harga konsultasi seorang dokter begitu mahal, kenapa harga obat
meningkat, kenapa pelayanan dokter tidak begitu optimal dan mengapa
sering terjadi malpraktik. Karena dokter selalu dituntut untuk manusiawi
ketika kita berbicara tentang kewajibannya, tapi tidak dianggap manusia
ketika menuntut haknya.
Sebagai penutup, poin-poin di bawah ini, mungkin bisa menjadi
renungan..
Profesi kesehatan,adalah profesi yang sangat mulia. Profesi yang menurut
banyak orang,diminati hanya oleh orang-orang kaya,yang sudah tidak
berminat akan gaji dan harta duniawi,dan bertekad menghabiskan sisa
hidupnya untuk kemanusiaan. Hanya sedikit manusia yang mampu benar-
benar menjadi tenaga kesehatan,sesuai tuntutan profesi yang dianggap
mulia itu,mungkin hanya satu diantara beberapa juta manusia yang
sanggup.
Hanya sedikit manusia,yang mungkin mau membayar ratusan juta untuk
masuk ke fakultas kedokteran (karena tidak diterima di jalur masuk yang
murah),yang tidak berpikiran untuk mendapat pendapatan yang layak
dengan biaya sekolahnya.
Hanya sedikit manusia,yang setelah masa kuliah yang panjang dan
melelahkan secara fisik dan mental,bisa bersabar untuk tidak segera
bekerja mencari nafkah karena direpotkan segala urusan birokrasi.
Hanya sedikit manusia,yang bisa tidak mengeluh,setelah lulus dari fakultas
favorit dengan ujian masuk tersulit,tapi masih dianggap tidak kompeten
dan masih harus melalui berbagai pembuktian kompetensi yang bukan
hanya menghabiskan waktu yang tidak sebentar,tapi juga biaya yang tidak
sedikit,sementara teman-teman smanya dulu yang memilih jurusan yang
ujian masuknya lebih mudah,sudah bekerja dan bisa dibilang lebih mapan.
Hanya sedikit manusia,yang mampu ditempatkan ke tempat antah
berantah,dengan alasan kewajiban kemanusiaan,dengan gaji yang
digembar-gemborkan besar(meskipun kenyataannya tidak sampai 30%
yang menerima gaji sebesar itu) tapi disuruh berpuasa dulu karena gaji itu
baru akan turun entah setelah bulan kesekian.
Hanya sedikit manusia,yang mampu bersabar menjadi tumbal
pemerintah,yang tidak sadar bahwa pengobatan murah untuk rakyat itu
harusnya dicapai dengan mensubsidi honor tenaga kesehatan,bukannya
menginjak-injaknya jadi serendah mungkin dan kemudian setelah
ditunggak lama masih dibayar sebagiannya saja.
Hanya sedikit orang,yang mampu ikhlas menerima tudingan malpraktik,
meskipun tidak ada yang pernah tahu seberapa berat dia bekerja tanpa
tidur,sebelum akhirnya dia melakukan kesalahan yang mungkin
sebenarnya manusiawi untuk seorang manusia biasa yang bisa lelah,tapi
tidak boleh dilakukan seorang tenaga kesehatan yang haruslah seperti
malaikat yang tanpa cela.
Hanya sedikit manusia, yang mampu menahan lelahnya dan dibangunkan
tengah malam,karena setiap orang sakit,meskipun itu hanya gatal-
gatal,adalah pasien darurat yang harus ditangani saat itu juga.
Hanya sedikit manusia,yang mampu bersabar saat menerima pasien,yang
mungkin sudah membayar berpuluh-puluh atau bahkan ratusan juta ke
pabrik rokok untuk membeli penyakit,tapi tidak mau mengeluarkan sepeser
pun untuk membayar pengobatan,malah menuduh tenaga kesehatan itu
adalah makhluk penghisap darah yang mencari keuntungan dari
penderitaan orang lain,tanpa sadar pihak mana yang sebenarnya
mengambil keuntungan dan membuat dia sakit seperti itu.
Hanya sedikit orang, yang mampu bekerja di klinik swasta, dengan honor
ribuan bahkan ratusan rupiah per pasiennya, tapi dapat dituntut ratusan
juta apabila terjadi alergi obat(yang kalau dilihat komponen katanya adalah
“alergi” yang berasal dari kekebalan tubuh pasien dan “obat” yang
diproduksi oleh pabrik obat,tenaga kesehatan sendiri bisa dibilang hampir
tidak punya peran dalam alergi obat tersebut).
Hanya sedikit orang,yang bisa menerima keadilan media,dalam
memberitakan kasus dugaan malpraktek secara besar-besaran, sementara
saat teman sejawatnya meninggal tenggelam saat bertugas ke
pedalaman,hanya ditulis di kolom kecil yang pasti tidak menarik perhatian.
Sedikit sekali orang yang mampu untuk menjadi tenaga kesehatan ideal di
Indonesia dengan segala kondisi yang sudah saya paparkan tadi, tapi
sayangnya, kebutuhan tenaga kesehatan di Indonesia sangat besar
sehingga banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi tenaga
kesehatan,dan kaget begitu mengetahui konsekuensi seperti yang saya
sebutkan di atas.
Jadi bila anda memutuskan ingin menjadi tenaga kesehatan, pastikan anda
mampu menerima semua konsekuensi itu tanpa mengeluh. Semoga
Indonesia bisa semakin baik di masa depan.
Semoga tulisan ini dapat membuka hati saudara-saudara kita yg kritis
terhadap dokter..
dan semoga pemerintah juga bisa terbuka matanya dan peduli kepada
kami..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar